Kamis, 31 Oktober 2013

Dua Kata Untukmu : Aku Merindukanmu (Part 1)




Ini adalah kali kesekiannya rasa rindu menggerogotiku. Rindu. Satu kata yang berulang-ulang muncul dibenakku. Namun apa daya? Apa yang bisa aku lakukan? Apakah aku harus mengatakan kepadanya bahwa aku rindu?  Ah...jangan bercanda. Stok gengsiku sudah cukup terbatas untuk kulepaskan begitu saja. Aku tidak akan mungkin menghubungi dia, kemudian mengatakan bahwa aku sedang merindukannya. Selain merasa berdosa, pasti rasa malu yang cukup dahsyat akan menyerangku. Lupakan saja soal mengatakan kepadanya  bahwa aku kangen.
            Ingin rasanya mencurahkan luapan rasaku ini kedalam sebuah tulisan sebagaimana mana biasa hal yang aku lakukan jika aku merasakan sesuatu  yang membuat perasaanku sedikit tidak normal. Kunyalakan laptop hitam kesayanganku dan segera membuka Microsoft Word. Jemariku mulai bergerak lincah menyusun kata demi kata hingga tanpa sadar aku sudah menyusun satu paragraf pendek. Tampaknya rindu kali ini tidak cukup mengantarkan aku menjadi pujangga semalam. Tulisanku terhenti. Aku tidak mampu merangkai kata untuk mengungkapkan perasaan campur aduk yang aku rasakan pada episode rinduku malam ini.
            Tiba-tiba teringat bahwa dua tahun yang lalu aku masih rajin menulis, menyampaikan keluh kesahku dalam sebuah blog pribadi yang memang sengaja tidakku-publish. Alangkah menariknya jika aku kembali membuka tulisan-tulisan lama yang pernah aku buat, aku bisa kembali merasakan emosiku waktu itu. Perlahan aku masukkan alamat blogku di mesin pencari. Sebuah tampilan biru dengan kombinasi bunga berwarna putih perlahan muncul. Ada ratusan tulisan disana. Itu berarti bahwa telah ratusan kali kuungkapkan gejolak dan dinamika rasaku di blog ini.
Kamu datang bagaikan hujan
Membahasahi aku tanpa aku sempat menolak
Kau buat aku terbiasa dengan rintik-rintikmu
Kemudian kamu reda
Awalnya aku berpikir bahwa kamu bukan apa-apa
Hanya sekedar anak alam
Hingga aku tersadar bahwa aku kuyup dan kamu berlalu
Yaa.....basah kuyup ini adalah jejakmu
Dan membekas
Hingga aku tersadar bahwa kamu adalah sesuatu
Ya, kamu hujan...
Kamu datang dan pergi begitu saja...
Dan kamu sempat memberi tanda padaku
Ya, aku basah karena hujan
Kuyup ini mengingatkanku padamu
Kamu tak sekedar datang dan pergi seperti yang aku tau
Kamu masuk dalam ingatanku
Aku tak punya harapan apapun
Jika memang kamu harus berlalu...
Semoga kuyup ini segera kering...

            Siang itu, aku mendatangi sebuah gedung yang tidak jauh dari kampusku hanya untuk menemani seorang teman yang akan menjalani sesi wawancara sebuah UKM, sekedar  menemani. Setelah beberapa menit menunggu, ada derap langkah di tangga menuju lantai dua, tempat aku dan beberapa calon anggota yang akan di wawancara menunggu. Pemilik langkah itu ternyata si pewawancara, laki-laki berkemeja dan celana bahan nuansa coklat. Emm....ada suatu yang lain saat aku melihatnya. Entahlah.....aku tidak bisa menjelaskan apa itu, yang aku tahu hanya ada yang berbeda. Bukti dari perbedaan itu, aku bisa mengingat awal aku melihat dan bertemu dengannya, semoga ini cukup menjelaskan kesan pertamaku bertemu dengannya.
            Tidak lebih tiga bulan dari pertama kali aku menginjakkan kaki di gedung itu, akhirnya setelah beberapa pertimbangan ditambah lagi dengan informasi dan pejelasan positif dari Nunu, temanku yang lebih dulu telah bergabung, aku memutuskan untuk bergabung di organisasi yang sama, tidak mau menunda lagi.
Mataku mulai mencari-cari Nunu, pertanda sesi wawancaraku sudah selesai. Aku memberi tanda bahwa aku siap untuk kembali ke kampus. Nunu mendekatiku, sambil melangkah keluar ruangan, dia menghampiri kumpulan cowok yang dari tadi cukup ramai, “aku ke Kabid-ku bentar ya Li”. Nunu menghampiri salah seorang diantara mereka dan berbincang selama beberapa menit. Wah..aku bertemu dengan laki-laki berkemeja coklat yang derap langkahnya terngiang-ngiang ditelingaku itu, lagi. Siang ini dia mengenakan batik. “Ternyata dia Kabid-nya Nunu”, batinku. Sempat beradu pandang dengannya beberapa detik, seperti biasa aku hanya bisa tersenyum canggung. Pembicaraan mereka pun selesai, Nunu pamit pada kabidnya. Si kabid bertanya, “temenmu Nu?”. “Iya mas”, jawab Nunu ringan sambil jalan. Aku tersenyum sungkan ke kumpulan  orang yang ada disana. Untuk kedua kalinya aku merasakan bahwa ada yang berbeda saat aku melihat dia. “Mungkin hanya perasaanku saja”, aku membatin seraya melangkah keluar mengikuti Nunu.
_____________________>>.....